081774985286 admin@luqoimat.com
Jumlah Raka'at

Shalat Tarawih

Kesimpulan

Siapa saja yang shalat Tarawih sebelas rakaat sesuai dengan tata cara yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ia telah melakukan hal yang baik dan sesuai dengan sunnah. Dan siapa saja yang meringankan bacaan dan menambah jumlah rakaat, maka ia pun telah melakukan hal yang baik. Tidak boleh ada pengingkaran terhadap siapa pun yang melakukan salah satu dari duanya.

Bagaimana seorang Muslim menyikapi masalah-masalah ijtihadiyah?

Seorang Muslim tidak seharusnya menyikapi masalah-masalah ijtihadiyah di antara para ulama dengan sensitivitas seperti ini, sehingga menjadikannya sebagai penyebab perpecahan dan fitnah di antara umat Islam.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata ketika berbicara tentang masalah orang yang shalat bersama imam sepuluh rakaat kemudian duduk dan menunggu shalat witir, dan tidak menyelesaikan shalat tarawih bersama imam:

“Sungguh sangat disayangkan bahwa kita menemukan di dalam umat Islam yang terbuka, sekelompok orang yang berselisih dalam masalah-masalah yang dibolehkan perselisihan di dalamnya, lalu menjadikan perselisihan itu sebagai penyebab perselisihan hati. Perselisihan di dalam umat telah ada sejak zaman para sahabat, namun hati mereka tetap bersatu.”

“Maka wajib bagi para pemuda khususnya, dan bagi semua orang yang komitmen pada agama, untuk bersatu dan menunjukkan satu kesatuan; karena mereka memiliki musuh nyata yang mengintai mereka.” (Asy-Syarh Al-Mumti’, 4/225)

Jumlah Rakaat Shalat 

Dalam masalah jumlah rakaat shalat Tarawih, ada dua kelompok yang berlebihan. Kelompok pertama mengingkari orang yang menambah lebih dari sebelas rakaat dan menganggap bid’ah perbuatannya. Kelompok kedua mengingkari orang yang membatasi diri pada sebelas rakaat dan mengatakan: ‘Mereka telah menyalahi ijma’.

Mari kita dengarkan arahan dari Syaikh yang mulia, Ibnu Utsaimin rahimahullah, yang mengatakan:

‘Di sini kami katakan: Tidak sepantasnya kita ghuluw (berlebihan) atau meremehkan. Sebagian orang berlebihan dalam hal berpegang teguh pada sunnah dalam jumlah rakaat, sehingga mereka berkata: ‘Tidak boleh menambah dari jumlah yang disebutkan dalam sunnah, dan mereka sangat keras mengingkari orang yang menambah dari itu, dan mereka berkata: ‘Dia berdosa dan bermaksiat’.

Ini jelas-jelas salah. Bagaimana mungkin dia berdosa dan bermaksiat, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang shalat malam, lalu beliau bersabda: ‘Dua rakaat, dua rakaat‘, dan beliau tidak menentukan jumlahnya.

Tentunya sahabat yang bertanya tentang shalat malam ini tidak mengetahui jumlah rakaatnya, karena orang yang tidak mengetahui tata cara shalat lalu menanyakannya, dipastikan bahwa jumlah raka’atnya lebih tidak ia ketahui. Maka penjelasan tentang jumlah rakaat dalam konteks ini sangatlah dibutuhkan dan sangat penting. Namun nyatanya Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam tidak menjelaskan batasan jumlah rakaatnya.

Sahabat yang bertanya ini juga bukan termasuk orang yang melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga kita katakan bahwa dia mengetahui apa yang terjadi di dalam rumah beliau. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepadanya tata cara shalat tanpa menentukan jumlahnya, maka diketahui bahwa masalah ini luas, dan seseorang boleh shalat seratus rakaat dan witir satu rakaat.

Adapun sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat‘, maka ini tidak berlaku secara umum, bahkan menurut mereka sendiri. Oleh karena itu, mereka tidak mewajibkan seseorang untuk witir sekali lima rakaat, sekali tujuh rakaat, dan sekali sembilan rakaat. Jika kita memahami hal ini secara umum, maka kita akan mengatakan bahwa wajib witir sekali lima rakaat, sekali tujuh rakaat, dan sekali sembilan rakaat secara berurutan. Tetapi yang dimaksud adalah: ‘Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat‘ dalam tata caranya, bukan jumlahnya, kecuali jika ada dalil yang menentukan.

Bagaimanapun, seseorang tidak boleh memberatkan orang lain dalam masalah yang luas dan boleh ditoleransi. Bahkan, kita melihat sebagian saudara-saudara kita yang keras dalam masalah ini, mereka menganggap bid’ah para imam yang menambah lebih dari sebelas rakaat, dan mereka keluar dari mesjid jika imamnya shalat lebih dari 11 rakaat, sehingga mereka kehilangan pahala yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Barangsiapa yang shalat bersama imam sampai selesai, maka ditulis baginya pahala shalat malam penuh’. Diriwayatkan oleh Tirmidzi (806) dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Tirmidzi (646). Atau mereka mungkin duduk jika mereka telah shalat sepuluh rakaat, sehingga shaf terputus karena duduknya mereka, dan terkadang mereka berbicara sehingga mengganggu orang yang shalat. Allahu musta’an.

Kita tidak meragukan bahwa mereka menginginkan kebaikan dan bahwa mereka berijtihad, tetapi tidak setiap orang yang berijtihad benar.

 

Abu Laits Rizki Hidayat

Daftar Isi